Halaman

Orientasi Akademik Kader PMII




Addin Jauharudin
Ketua Umum PB PMI

Sebagai sebuah Organisasi, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia telah melwati fase demi fase kesajarahan. Sejak Tahun 1960 Organisasi yang dilahirkan dari Rahim Nahdlatul Ulama Ini telah mampu menunjuukan dedikasi ditengah arus perubahan zaman.

Pertama; Dalam Menandai Perubahan, PMII telah mampu mendistribusikan kadernya pada ranah Gerakan Jalanan (biasa disebut gerakan ekstraparlementer) sampai hari ini pun citra diri PMII sebagai “Singa Jalanan” tetap menjadi bangunan nalar yang secara organisasi terpelihara sebagai bangunan dasar kader—yang selalu membela kaum mustadhafien. Ini dapat dilihat dari arus perubahan yang pernah terjadi, Tahun 1966, 1974 dan Pada Tahun 1998 sampai sekarang

Kedua: Secara gagasan Kader PMII telah mampu mewarnai pergumulan wacana di Indonesia—karena secara Internapun PMII telah mampu nelahirkan Basis Nilai yang menjadi Landasan Pijak Organisasi yaitu ASWAJA, Nilai Dasar Pergerakan (NDP) sampai pada Paradigma PMII yang secara teoritik telah menjadi cara pandang Organisasi dalam memahami Realitas.

Argumentasi Gerakan Intelektual PMII

 Jaelani SF
Ketua Bidang Pengembangan Potensi Akademik PB PMII
Semua manusia adalah intelektual, namun tidak semua manusia
menjalankan fungsi intelektualnya dalam masyarakat. Antonio Gramsci (1891-1937).

Sejak Tahun 1960 sampai hari ini, PMII terus tumbuh menjadi organisasi yang memproduksi kader secara terus-menerus. Dengan berlandaskan Islam Ahlusunnah wal jamaah sebagai landasan teologinya, PMII harus mampu “mendayung” ditengah rotasi zaman yang serba kompleks dan berubah secara terus-menerus. Salah satu penandanya adalah dengan jumlah cabang definitive 225, Pengurus Koordinator Cabang berjumlah 20 dan beberapa jumlah Cabang persiapan. Fakta seperti ini menandakan dinamika yang cepat pada lajur pertumbuhan organisasi. Konsekuensinya, pada saat yang bersamaan, ditengah ‘massifikasi pertumbuhan PMII itu’, kita ditantang zaman untuk menyeimbangkannya dengan kualitas dinamika yang sama dilajur perkembangan organisasi. 

Diruang Kebangsaan yang lebih Lebar, Islam Ahlusunnah waljamaah yang disebutkan di PMII sebagai Islam Indonesia, mendapat serbuan yang begitu kencang—dengan berkecambahnhya wacana islam radikal yang meletup di bebrapa daerah, sehingga berlanjut dengan ledakan konflik. Tentulah kita belum lupa dengan peristiwa penyerangan ahmadiyah di ceukesik dan banten, atau konflik pembangunan gereja Yasmin di Bogor atau konflik berbau agama di Maluku.

Pada konteks yang demikian, mau tak mau, PMII harus mengkampanyekasn“islam yang ramah—bukan islam yang marah” serta menampilkan perannya sebagai garda terdepan pergerakan kaum muda berhaluan Islam Ahlussunnah wal jamaah. Apa yang disebut Nahdlatul Ulama sebagai Islam Rahmatan lil Alamin haruslah diterjemahkan dalam praktik-praktik nyata pergerakan. Jika tidak begitu, maka Islam Rahmatan lil Alamin bukan saja berhenti menjadi klaim dan fosil pemikiran, tetapi juga, akan punah dari sejarah kebangsaan kita.  

Mendorong Kepemimpinan Perempuan Nusantara
dan Gerakan Intelektual Perspektif Gender



Oleh Irma Muthoharoh
Ketua Umum PB KOPRI


Dalam perjalanan sejarah bangsa, gerakan perempuan mewarnai perjuangan berdirinya bangsa Indonesia. Beberapa tokoh perempuan berada di garis depan perjuangan melawan penjajah.  Pada masa mempertahankan kemerdekaan tokoh-tokoh perempuan berpartisipasi dan menyebar di berbagai bidang. Masa orde baru pergerakan perempuan menyelusup diantara instansi-intansi dan mewarnainya dengan isu-isu keperempuanan. Pada masa reformasi hingga saat ini, pergerakan perempuan justru semakin nyata dalam menancapkan kukuhnya di dunia politik. Gerakan perempuan Indonesia mencatat tanggal 22 Desember adalah sebuah titik awal sebuah gerakan perempuan secara nasional. Gagasan itu dicerna kaum perempuan yang aktif dalam gerakan Kebangkitan Nasional 1908. Gejolak rasa nasionalisme dibulatkan dalam bentuk Sumpah Pemuda tahun 1928, kemudian ditindaklanjuti oleh Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini diikuti oleh 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia. Pada waktu itu resolusi penting yang dideklarasikan adalah “tuntutan terhadap upaya peningkatan kondisi perempuan”.